Perpustakaan dan Kesepiannya Penyair

Perpustakaan dan Kesepiannya Penyair

Foto pribadi
Rencana untuk mengunjungi penyair Umar Fauzi Balla bulan Februari lalu selalu gagal. Baru pada kesempatan siang tadi (24/2016) tercapai tanpa duga-duga setelah percakapan-percakapan melalui WA semalam dengan beliau.

Hal tersebut sungguh menyempurnakan "ritual" kami di hari Minggu: membaca puisi dan cerpen setiap pagi. Kami gembira siang itu. Seperti kenalan sekian tahun tak jumpa lalu dipertemukan oleh perasaan yang sama: kesepian.

Entah tepat atau tidak istilah itu. Tapi yang jelas kemudian kami saling mengutakan hal yang sedana soal kenapa sastra atau kegiatan literasi di Sampang senyap dikalahkan oleh bunyi thing thing bunyi mangkok penjual bakso yang berjejer di sepanjang jalan kota Sampang.

Dari semua percakapan singkat itu, kami menangkap ambisi dan bergeloranya keinginan si Penyair untuk menghidupkan kegiatan literasi. Itu akan dimulai dengan diadakannya acara peluncuran buku puisi "Kangean" karya penyair Hidayat Raharja.

Kebahagiaan kami adalah: kami menemukan orang tua. Sahabat dan guru. Seseorang yang siap bekerja demi menghidupkan dunia tulis menulis-baca membaca di tengah desakan-desakan lain yang tak kalah penting, kepala rumah tangga.

Si penyair merasa hidup sendiri di Kota Sampang. Tak ada kawan yang bisa diajak ngomong sastra. Tak ada orang yang mau diajak bekerja untuk membangkitkan gairah literasi seperti di Kota Sumenep.

Satu-satunya alasan yang dikemukakan mas Fauzi, pelaku sastra, penyair, seniman, sastrawan Sampang jauh hidup dirantau. Seperti Yogya, Surabaya, Malang dan kota-kota lain. Benarkah? Lalu bagaimana dengan pemerintah Kota Sampang, guru-guru bahasa di SD, SMP, SMA, dan dosen-dosen bahasa, petugas perpustakaan, dan pesantren-pesantren yang jumlahnya begitu banyak itu sendiri?

Aneh jika semua yang kami sebut di atas sama sekali merasa tidak memiliki tanggungjawab besar atas berkembangnya dunia literasi. Sebab, semua instansi dan lembaga tersebut memiliki relevansi dan hubungan erat dengan dunia tulis menulis-baca membaca. Yang itu artinya semua lapisan memiliki tanggungjawab yang sama.

Tentu menggembirakan nantinya akan ada misalnya komunitas atau perkempulan "Persatuan Guru Bahasa Indonesia Sampang" yang tujuan intinya meningkatkan budaya baca-tulis, kreativitas dan kegiatan-kegiatan yang mendorong ke perkembangan dan kemajuan Indonesia, dimulai dari profesi masing-masing atau yang bersangkut paut, misalnya.

Dugaaan kami tentu tidak meleset betul tersebab memang realita seperti yang dikemukakan tak pernah ada. Kita mencukupkan diri pada satu tempat di mana kita berada tanpa memandang perlu adanya koreksi atas kebiasaan nyaman.

Bagaimana mungkin guru bahasa merasa sudah cukup tugasnya dengan hanya mengajar di kelas? Dosen Bahasa Indonesia di sebuah universitas, katakan IKIP Sampang, hanya diam saja setelah keluar dari ruang kuliah? Menggelikan, bukan? Lalu apa yang dimaksud dengan persatuan? Menunggu penjajah, lalu bersatu untuk berperang? Sementara peperangan sudah sejak dahulu telah dimulai: melawan kebodohan.

Kenyataan lain yang memilukan kami mendapati kenyataan bahwa perpustakaan tak kalah kesepiannya dengan mas Fauzi. Kami datang hari Minggu, hari libur sekolah, hari di mana seharusnya, misalnya seorang guru, baik SD, SMP, SMA mengajak peserta didik membiasakan mengunjungi perpustakan--selain bebera faktor lainnya, Sampang (seperti juga terjadi di kabupaten lain) sangat jarang dijumpai toko buku---supaya membaca dijadikan budaya dan kebutuhan pokok dalam hidup. Syukur bisa menjadi takaran gengsi.

Gambar di atas diambil tadi sekitar jam 11, Minggu 24 April 2016. Gambar yang menjelaskan sebuah ruang perpustakaan yang lengang, yang hanya 2-3 pengunjung sedang beraktifitas membaca. Beberapa di antarnya datang untuk selfi semata.

Bagaimana kita memahami ini semua? Bisakah dijelaskan masyarakat memang malas pergi ke perpustakaan daripada pergi ke swalayan tanpa lebih dulu kita upayakan?

Bagaimana sebuah bangsa yang konon berkembang tetapi minat bacanya paling rendah kedua di dunia? Pasti ada yang keliru tentang berkembang. Entah persepsi yang sengaja dihembuskan oleh pemangku kekuasaan atau apa yang dimaksud dengan berkembang sebagai ukurannya adalah membeludaknya kendaraan.

Semoga si penyair tidak akan lagi merasa kesepian.


Penulis: Syamsul Arifin dan Zamzamul Adhim

0 komentar :

 
Copyright © 2015. Buruh Buku
Design By BukaTHEMES