Televisi, Kekuasaan Dan Rakyat Sebagai Konsumen

Televisi, Kekuasaan Dan Rakyat Sebagai Konsumen

Pak Hary Tanoesoedibjoapa kabar? Semoga bapak baik senantiasa sehingga bapak punya banyak waktu berbuat lebih untuk Indonesia. Negara kita ini.

O iya, pada kesempatan ini, meski kami yakin 100 % bapak tidak akan membaca isi tulisan ini, kami tetap berusaha merampungkanya, setidaknya itu bukti bahwa media semacam blog, fb, twitter, televisi, radio, dll bisa dijadikan alat untuk hal-hal yang bahkan tidak penting sama sekali.

Hampir seluruh rakyat Indonesia memiliki akun faceboock. Tak soal untuk tujuan apa. Yang kasmaran menebar rayuan gombal. Pedagang menjual barangnya. Penyair sibuk (bahkan dalam hitungan menit) memposting puisi-puisinya. Politisi menyerang dan menjual banyak hal gila. Kiai mencaci. Yang putus asa sibuk berkeluh kesah.

Status-status yang kami sebut di atas tidak pernah benar-benar mewakili status-status dalam kehidupan nyata. Tak seolah-seolah kenyataan. Kenyataan tersebut mengerikan. Jarak antara ilusi, delusi, fantasi semakim tipis dan tak terbendung.

Kita beruntung, bapak hidup di suatu masa ketika media seperti fb dan televisi bisa dimiliki siapa saja. Kenyataan itulah, bapak, kami menulis. Dulu ketika pak Harto berkuasa saluran televisi cuma satu dan tak fb.

Tapi sekarang semua orang bisa punya channel. Tentu yang banyak uang, seperti bapak ini. Bapak beruntung bisa berbuat banyak untuk Indonesia melalui media yang bapak miliki. Kami KPI bukan juga milik bapak. Amin.

Bapak jangan tersinggung. Maksud kami, apa KPI, atau orang yang miliki kewenangan mengeluarkan SIUUP adan entah apa dan siapa lagi itu tidak hanya memrhatikan bentuk dalam setiap penyiaran? Misalnya tak hanya soal paha dan payudara?

Baiklah, bapak Hary Tanoesoedibjo seperti lagu iklan partai bapak ditelevisi bapak sendiri. Kenapa tidak ditayangkan di televisi lain? Indosiar, SCTV, TV ONE? Bapak jangan khawatir, sebab bapak bukan satu-satunya di negeri ini.

Lagu bapak tersebut disukai banyak anak-anak kecil yang bahkan tidak mengerti politik atau muatan isi sebuah lagu politik. Adik saya yang baru kelas toga SD hafal keluar kepala lagu partai bapak. Sungguh! sebaliknya lagu Nasional Indonesia Raya atau Sumpah P3muda tidak hafal. Bapak tahu sebabnya?

Bapak boleh mengatakan hal demikian merupakan kegagalan pendidikan (guru) kita. Tapi kami ini menyangkal. Jangan merasa terganggu, yang menulis ini bukan guru kok. Santai, bapak. Kami kutipkan lagu bapak tersebut dan mohon jangan marah kalau teksnya kemudian ada yang tidak seperti bapak yakini.

Marilah seluruh rakyat Indonesia
Arahkan pandangan ke depan
Raihlah mimpimu bagi nusa bangsa
Satukan tekadmu tuk masa depan
Pantang menyerah itulah pedomanmu
Entaskan kemiskinan cita-citamu
Indonesia maju sejahtera tujuanmu
Nyalakan api semangat perjuangan
Dengungkan gema nyalakan persatuan
OLEH BUKU OLEH BUKU jayalah Indonesia

Nyanyian di atas terlalu besar untuk ukuran sebuah partai politik. Terlalu suci. Terlalu murni. Terlalu dipaksakan untuk mrncitrakan politik dan politikus di Indonesia akhir-akhir ini. Itu sebab, dengan sangat hormat kami mengubahnya.

Kembali ke adik kami kelas tiga SD itu. Ia hafal bahkan sering menyanyikannya dengan jadwal padat. Sebelum, ketika dan sesudah makan. Dalam kamar mandi. Bermain kelereng. Ketika akan tidur.

Kami melihatnya sangat kasihan, bapak. Ketika menyanyikannya adik kami tersebut terlihat menyedihkan.

Bapak suka nonton film India? Sama kami juga tidak suka kecuali film yang akan ceritakan ini. Semoga bapak Hary Tanoesoedibjo belum menontonnya. Simak ya, pak.

Di sebuah unversitas ada mahasiswa, yang meski tolol dia sebenarnya penghafal yang baik. Hafal definisi-definisi. Di asmara dan kelas yang termasuk mahasiswa yang baik. Taat peraturan. Meski berlaku curang demi peringkat paling atas.

Namanya Chathur. Sekali lagi dia tolol: dia hafal materi pelajaran, tapi tidak paham apa yang dia hafal. Hafal teks Pidato dan puisi yang disampaikannya dalam bahasa India Murni--si Chathur tidak mengerti bahasa India Murni. Teks pidato tersebut hasil kerja seorang pustakawan yang diminta membantu menuliskannya.

Terjadilah prahara. Di tengah hadirin yang juga hadir menteri, Chathur mempermalukan diri karena ketidakpahamannya. Tidak paham perbedaan kata "pencabulan" dan "keajaiban", "uang" dan "susu" dalam bahasa India Murni.

Apa bapak Hary Tanoesoedibjo memang mengerti situasi seperti ini? Sehingga memanfaatkan peluang itu? Sama dengan rektor univesitas ICE, Shri Viru Sahastrabuddhi?

Bapak Harry, MNCTV memang milik bapak. Tapi tidak perlu juga kan menanyangkan iklan partai politik setiap saat yang bapak dirikan itu bukan?

Berikan kami pilihan lain selain egoisme bapak!


Sudah dulu ya. Semoga politikus tidak memiliki stasiun televisi. Amin.

0 komentar :

 
Copyright © 2015. Buruh Buku
Design By BukaTHEMES